Mama, I'm sorry. I failed to become a Twitter star
Posted by Admin | | Posted on 01.54
Mama, I'm sorry. I failed to become a Twitter star
"Mama, I'm sorry. I failed to become a Twitter star," demikian bunyi surat bunuh diri seorang ABG. Hingar bingar 2.0 telah melahirkan kesepian baru. Orang merasa bahagia bila banyak follower, banyak yang mention, banyak yang RT, dan sebaliknya, merasa berduka dan tidak berarti ketika sepi follower. Kehilangan follower adalah alasan yang cukup untuk merusak mood sepanjang hari. Ukuran popularitas pun telah berubah: Popularitas bukan lagi diukur dari berapa sering tampil di TV atau membintangi film, atau berapa banyak orang yang tahu. Ukuran popularitas sekarang bisa lebih exact dalam bentuk jumlah follower di Twitter. Semakin seseorang populer di offline, maka hal itu pun akan berkorelasi dengan jumlah follower-nya di Twitter. Memang kasusnya tidak selalu begitu, tetapi kenyataannya banyak yang begitu. Banyak pula yang sebaliknya, menjadi populer dulu di Twitter kemudian baru di offline, dan menambahkan snowball effect pada papan pengukuran terakhirnya yaitu di Twitter. Ukuran-ukuran dalam web 2.0 (seperti contoh Tweetlevel) akhirnya bisa digunakan untuk mengukur popularitas seseorang secara umum. Anak-anak gaul sekarang pun merasa semakin gaul bila punya jumlah follower yang bisa dibanggakan. Sebaliknya anak yang kurang follower, merasa kurang populer, yang pada ujungnya, merasa tidak berarti. Dia mulai tidak dianggap karena jumlah followernya sedikit. Dia mulai minder hang out dengan teman-temannya yang gaul. Yang punya follower di atas 1.000. Teman-temannya naik kasta, dari tidak diperhitungkan menjadi apa yang disebut orang-orang Marketing sebagai "social influencer." Tiba-tiba mereka punya uang lebih banyak untuk membayar yogurt beku, nongkrong di toko donat, dll, karena mendapat uang dari sidejob sebagai social influencer. Sementara dia, masih tidak tahu apa yang harus di-tweet, dan apa pun yang dia tweet tidak menarik bagi khalayak Twitter yang cerdas dan kritis-kritis. Dia tidak bisa exist. Dia tenggelam di lautan 2.0. Dia merasakan kesepian 2.0. Sesuatu yang tidak akan dimengerti oleh ibunya. Di suatu sore di sebuah mal di Jakarta Pusat sehabis hang out dengan teman-temannya yang gaul, anak itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan loncat begitu saja dari lantai 6. Secarik kertas berisi kata-kata di atas ditemukan di saku kemejanya.
"Mama, I'm sorry. I failed to become a Twitter star," demikian bunyi surat bunuh diri seorang ABG. Hingar bingar 2.0 telah melahirkan kesepian baru. Orang merasa bahagia bila banyak follower, banyak yang mention, banyak yang RT, dan sebaliknya, merasa berduka dan tidak berarti ketika sepi follower. Kehilangan follower adalah alasan yang cukup untuk merusak mood sepanjang hari. Ukuran popularitas pun telah berubah: Popularitas bukan lagi diukur dari berapa sering tampil di TV atau membintangi film, atau berapa banyak orang yang tahu. Ukuran popularitas sekarang bisa lebih exact dalam bentuk jumlah follower di Twitter. Semakin seseorang populer di offline, maka hal itu pun akan berkorelasi dengan jumlah follower-nya di Twitter. Memang kasusnya tidak selalu begitu, tetapi kenyataannya banyak yang begitu. Banyak pula yang sebaliknya, menjadi populer dulu di Twitter kemudian baru di offline, dan menambahkan snowball effect pada papan pengukuran terakhirnya yaitu di Twitter. Ukuran-ukuran dalam web 2.0 (seperti contoh Tweetlevel) akhirnya bisa digunakan untuk mengukur popularitas seseorang secara umum. Anak-anak gaul sekarang pun merasa semakin gaul bila punya jumlah follower yang bisa dibanggakan. Sebaliknya anak yang kurang follower, merasa kurang populer, yang pada ujungnya, merasa tidak berarti. Dia mulai tidak dianggap karena jumlah followernya sedikit. Dia mulai minder hang out dengan teman-temannya yang gaul. Yang punya follower di atas 1.000. Teman-temannya naik kasta, dari tidak diperhitungkan menjadi apa yang disebut orang-orang Marketing sebagai "social influencer." Tiba-tiba mereka punya uang lebih banyak untuk membayar yogurt beku, nongkrong di toko donat, dll, karena mendapat uang dari sidejob sebagai social influencer. Sementara dia, masih tidak tahu apa yang harus di-tweet, dan apa pun yang dia tweet tidak menarik bagi khalayak Twitter yang cerdas dan kritis-kritis. Dia tidak bisa exist. Dia tenggelam di lautan 2.0. Dia merasakan kesepian 2.0. Sesuatu yang tidak akan dimengerti oleh ibunya. Di suatu sore di sebuah mal di Jakarta Pusat sehabis hang out dengan teman-temannya yang gaul, anak itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan loncat begitu saja dari lantai 6. Secarik kertas berisi kata-kata di atas ditemukan di saku kemejanya.
Comments (0)
Posting Komentar