West Europe Trip 2010 (Day 1): Amsterdam
Posted by Admin | | Posted on 01.53
West Europe Trip 2010 (Day 1): Amsterdam
“Good girls go to heaven, bad girls go to Amsterdam” so it said in the T-shirts sold in souvenir shops in Amsterdam. Bicara soal Amsterdam, memang susah melepaskan dari Red Light District-nya yang terkenal itu. Ketika bilang mau ke Amsterdam, teman-teman langsung berkomentar, “Wah ati-ati, ganja kan legal di sana…”
Memang, Belanda adalah negara pertama yang melegalkan ganja sebagai obat yang diresepkan oleh dokter. Begitu juga dengan hal-hal kontroversial lain seperti prostitusi, euthanasia dan same sex marriage, Belanda selalu tercatat sebagai negara pertama yang melegalkannya. But the best thing about Amsterdam is not that. Tentu saja karena hal-hal yang dilegalkan itu pun tidak relevan dengan most of us, I think. Meskipun belum sampai Amsterdam kalau belum mengunjungi Red Light District, masih banyak hal lain tentang Amsterdam dan banyak object wisata yang layak untuk dikunjungi.
Amsterdam is also about bicycle, kanal di mana-mana---sebagian daerah di Belanda tingginya di bawah permukaan laut, pembangunan kanal dan tata airnya mengagumkan---, dan rumah-rumah yang lucu-lucu seperti rumah Barbie. Lonely Planet menyebut Amsterdam sebagai one of Europe’s most beautiful cities, agaknya memang beralasan. Tidak sulit mencari tempat foto pemandangan ala postcard wisata di Amsterdam. Pada musim semi ketika bunga bermekaran, jangan melewatkan mengunjungi yang namanya Keukenhof.
We arrived in Schipol Airport (bandara internasional Amsterdam) tanggal 13 May 2010, sekitar pukul 15.00 waktu Amsterdam. Di sini ada perbedaan waktu 5 jam dengan Jakarta, lebih lambat. Jadi kita seolah kembali ke masa lalu, lumayan, getting younger even just for 5 hours hahaha.
Bandaranya biasa-biasa saja. Tidak sebesar bandara Dubai dan tidak seperti bandara-bandara baru yang keren-keren. Small, tapi suasananya enak. Banyak bule yang nongkrong di mana-mana (ya iyalah!) dan banyak café-café dengan sign board Heineken. (Heineken happens to be my favorite brand, and it’s originally from the Netherland). So, gue merasa seneng aja…
Keluar dari bandara, langsung deh foto-foto. Ini fotonya.
Brrrr… ternyata dingin juga ya… Sebelum ke sini sudah riset tentang cuaca di tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Ketika kami tiba, suhu udara sekitar 15 derajat Celcius. Langsung deh mengenakan jaket dan sarung tangan serta syal yang sudah kami siapkan.
Dari bandara kami bersepuluh menumpang mobil Connexxion (airport shuttle), perlu dua mobil karena satu mobil hanya muat maksimal 8 orang. Tarip dari bandara ke hotel (eh, hostel) 8 Euro. (Kurs Euro pada saat kami membeli/sebelum berangkat sekitar Rp 11.900, setelah pulang Euro terus anjlok).
Kami menginap di hostel Flying Pig Uptown. Hostel youth backpacker semacam ini banyak di Eropa, dengan kamar-kamar dorm dengan kamar mandi sharing (di luar). Tempat tidurnya bunk bed (bertingkat). Kebetulan karena kami bersepuluh, bisa dapat satu kamar bersepuluh. Tarip hostel 1 malam 30 Euro. Sebelumnya sudah booking online, tinggal membayar sisanya.
Suasana hostel asyik, tempat kami check in di resepsionis remang-remang karena bersebelahan dengan café hotel. Café ini juga digunakan sebagai tempat sarapan serta tempat nongkrong penghuni hostel yang kebanyakan anak muda. Dari ruangan merokok yang tertutup di ujung café tercium bau marijuana bila pintunya terbuka. Smell of hash, welcome to Amsterdam… (kata temen gw sih itu bau ganja, actually gw gak tahu bener apa gak hahaha)
Hostel ini terletak di kawasan Leidseplein. Tidak jauh dari sana (within walking distance) ada Museum Van Gogh, yang berisi karya-karya besar pelukis terkenal asal Belanda itu. Ini salah satu object wisata di Amsterdam.
Museum Van Gogh tutup pukul 18.00. Setelah beres-beres, angkat koper naik tangga dan masuk kamar, dll, kami tiba di museum Van Gogh sekitar pukul 17.15. Counter tiket sudah ditutup, karena di dalam juga sudah ramai dengan pengunjung. Tetapi berkat negosiasi seorang teman, kami berhasil masuk, meskipun hanya punya kurang dari 45 menit. Tiket masuk museum 14 Euro.
Di dalam museum ramai sekali pengunjungnya. Setiap ingin melihat lukisan harus mengantri. Di sini terdapat karya-karya Van Gogh yang terkenal seperti Starry Night, Sunflowers, dan Irises. Lukisan Van Gogh sangat khas dengan tinta yang seperti ditotol-totol. Beautiful.
Dari museum kita beranjak ke tujuan selanjutnya, yaitu Dam Square. Dari hotel menumpang trem tujuan Amsterdam Central. Tarip trem 2,6 Euro. Selama sekitar 20 menit perjalanan ke Amsterdam Central menikmati pemandangan kota Amsterdam yang asik, dengan kanal-kanal dan orang-orang yang bersepeda. Di sekitar Dam Square terletak museum Madame Tussaud dan Red Light District yang terkenal itu.
Kami mengeksplore daerah sekitar Dam Square ini, tempat yang menyenangkan. Bangunan kuno serta ada juga toko-toko yang menjual souvenir khas Amsterdam. Di pinggir jalan ada juga yang menjual pizza dan kopi, langsung mengundang aku untuk mampir. Kopi Segafredo yang harum serta pizza yang lezat fresh from oven, gue beli untuk take away, dimakan sambil jalan, harga 5 Euro. Ada juga yang menjual jajanan khas di sini, ikan herring, ada yang berbentuk sosis, ada juga yang belum matang (seperti sashimi). Rasanya agak amis…
Kami berkeliling terus, ngubek-ngubek daerah itu, tapi tidak kunjung menemukan yang namanya Red Light District. Dengan mengikuti peta, kami ketemu gang kecil dimana terdapat banyak toko yang menjual peralatan sex. Tapi… masa gini doang? Atau jangan-jangan belum mulai kali… Waktu itu sekitar pukul 7 atau 8 malam. Hari masih terang.
Yah, bulan Mei di Eropa, malam akan datang terlambat. Kami menunggu-nunggu, ini gelapnya kapan ya?
Di tengah kami mengobrol, tiba-tiba saja seorang bapak-bapak mendekati kami. “Dari Indonesia ya?”
Ya iyalah. Udah jelas pake bahasa Indonesia gitu… Akhirnya, kami pun berkenalan dengan bapak-bapak itu. Namanya Om Bram, pria berusia sekitar 60-70 tahun yang sudah 20 tahunan tinggal di Belanda. Dari sikapnya terkesan dia cukup kangen bertemu dengan teman-teman dari tanah air. Nah, kesempatan nih. Kami sedang mencari-cari yang namanya Red Light District.
Akhirnya, om Bram dan istrinya mengantar kami menjelajah gang-gang kecil pusat prostitusi yang terkenal di seluruh dunia ini. Kalau bukan karena om Bram, entah bagaimana kami bisa masuk/benar-benar masuk dan melihat dengan mata kepala sendiri fenomena ini. Soalnya kami bersepuluh kebetulan cewek semua, jadi tidak akan ada “pertunjukan” kalau hanya kami yang lewat.
Tidak peduli siapa Anda, umur berapa atau apapun latar belakang agama Anda, sepertinya kalau sudah sampai Amsterdam, sangat sulit menolak rasa penasaran untuk melihat fenomena ini. Gadis-gadis yang dijejer dalam kotak-kotak bergorden merah. Bila gorden terbuka, berarti si gadis sedang available. Bila tertutup, berarti sedang transaksi. Di kotak itu berdiri gadis-gadis yang berpakaian minim menjajakan tubuhnya, mereka akan melakukan sedikit “pertunjukan” bila yang lewat adalah pria. Mereka yang lewat sana tentu saja mencari sesuatu, kecuali turis-turis iseng seperti kami.
Kami melewati juga banyak sex shop… wah lengkap sekali deh. Segala yang bisa Anda bayangkan… Sepertinya tidak perlu diceritakan. Fotonya pun tidak perlu di-share ya… hahahaha.
Akhirnya, sekitar pukul 21.30 malam pun datang. Hari pun menjadi gelap. Teman-teman yang Muslim langsung teringat “Gila di sini magrib-nya jam berapa? Kasian ya yang puasa, panjang banget waktunya.”
Kami pun merasa lelah. Perjalanan kami dengan pesawat cukup panjang. Dari Jakarta berangkat tanggal 12 May, baru tiba di Amsterdam 13 May, dengan transit beberapa jam di Dubai. Kami pun pulang ke hotel untuk beristirahat.
“Good girls go to heaven, bad girls go to Amsterdam” so it said in the T-shirts sold in souvenir shops in Amsterdam. Bicara soal Amsterdam, memang susah melepaskan dari Red Light District-nya yang terkenal itu. Ketika bilang mau ke Amsterdam, teman-teman langsung berkomentar, “Wah ati-ati, ganja kan legal di sana…”
Memang, Belanda adalah negara pertama yang melegalkan ganja sebagai obat yang diresepkan oleh dokter. Begitu juga dengan hal-hal kontroversial lain seperti prostitusi, euthanasia dan same sex marriage, Belanda selalu tercatat sebagai negara pertama yang melegalkannya. But the best thing about Amsterdam is not that. Tentu saja karena hal-hal yang dilegalkan itu pun tidak relevan dengan most of us, I think. Meskipun belum sampai Amsterdam kalau belum mengunjungi Red Light District, masih banyak hal lain tentang Amsterdam dan banyak object wisata yang layak untuk dikunjungi.
Amsterdam is also about bicycle, kanal di mana-mana---sebagian daerah di Belanda tingginya di bawah permukaan laut, pembangunan kanal dan tata airnya mengagumkan---, dan rumah-rumah yang lucu-lucu seperti rumah Barbie. Lonely Planet menyebut Amsterdam sebagai one of Europe’s most beautiful cities, agaknya memang beralasan. Tidak sulit mencari tempat foto pemandangan ala postcard wisata di Amsterdam. Pada musim semi ketika bunga bermekaran, jangan melewatkan mengunjungi yang namanya Keukenhof.
We arrived in Schipol Airport (bandara internasional Amsterdam) tanggal 13 May 2010, sekitar pukul 15.00 waktu Amsterdam. Di sini ada perbedaan waktu 5 jam dengan Jakarta, lebih lambat. Jadi kita seolah kembali ke masa lalu, lumayan, getting younger even just for 5 hours hahaha.
Bandaranya biasa-biasa saja. Tidak sebesar bandara Dubai dan tidak seperti bandara-bandara baru yang keren-keren. Small, tapi suasananya enak. Banyak bule yang nongkrong di mana-mana (ya iyalah!) dan banyak café-café dengan sign board Heineken. (Heineken happens to be my favorite brand, and it’s originally from the Netherland). So, gue merasa seneng aja…
Keluar dari bandara, langsung deh foto-foto. Ini fotonya.
Brrrr… ternyata dingin juga ya… Sebelum ke sini sudah riset tentang cuaca di tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Ketika kami tiba, suhu udara sekitar 15 derajat Celcius. Langsung deh mengenakan jaket dan sarung tangan serta syal yang sudah kami siapkan.
Dari bandara kami bersepuluh menumpang mobil Connexxion (airport shuttle), perlu dua mobil karena satu mobil hanya muat maksimal 8 orang. Tarip dari bandara ke hotel (eh, hostel) 8 Euro. (Kurs Euro pada saat kami membeli/sebelum berangkat sekitar Rp 11.900, setelah pulang Euro terus anjlok).
Kami menginap di hostel Flying Pig Uptown. Hostel youth backpacker semacam ini banyak di Eropa, dengan kamar-kamar dorm dengan kamar mandi sharing (di luar). Tempat tidurnya bunk bed (bertingkat). Kebetulan karena kami bersepuluh, bisa dapat satu kamar bersepuluh. Tarip hostel 1 malam 30 Euro. Sebelumnya sudah booking online, tinggal membayar sisanya.
Suasana hostel asyik, tempat kami check in di resepsionis remang-remang karena bersebelahan dengan café hotel. Café ini juga digunakan sebagai tempat sarapan serta tempat nongkrong penghuni hostel yang kebanyakan anak muda. Dari ruangan merokok yang tertutup di ujung café tercium bau marijuana bila pintunya terbuka. Smell of hash, welcome to Amsterdam… (kata temen gw sih itu bau ganja, actually gw gak tahu bener apa gak hahaha)
Hostel ini terletak di kawasan Leidseplein. Tidak jauh dari sana (within walking distance) ada Museum Van Gogh, yang berisi karya-karya besar pelukis terkenal asal Belanda itu. Ini salah satu object wisata di Amsterdam.
Museum Van Gogh tutup pukul 18.00. Setelah beres-beres, angkat koper naik tangga dan masuk kamar, dll, kami tiba di museum Van Gogh sekitar pukul 17.15. Counter tiket sudah ditutup, karena di dalam juga sudah ramai dengan pengunjung. Tetapi berkat negosiasi seorang teman, kami berhasil masuk, meskipun hanya punya kurang dari 45 menit. Tiket masuk museum 14 Euro.
Di dalam museum ramai sekali pengunjungnya. Setiap ingin melihat lukisan harus mengantri. Di sini terdapat karya-karya Van Gogh yang terkenal seperti Starry Night, Sunflowers, dan Irises. Lukisan Van Gogh sangat khas dengan tinta yang seperti ditotol-totol. Beautiful.
Dari museum kita beranjak ke tujuan selanjutnya, yaitu Dam Square. Dari hotel menumpang trem tujuan Amsterdam Central. Tarip trem 2,6 Euro. Selama sekitar 20 menit perjalanan ke Amsterdam Central menikmati pemandangan kota Amsterdam yang asik, dengan kanal-kanal dan orang-orang yang bersepeda. Di sekitar Dam Square terletak museum Madame Tussaud dan Red Light District yang terkenal itu.
Kami mengeksplore daerah sekitar Dam Square ini, tempat yang menyenangkan. Bangunan kuno serta ada juga toko-toko yang menjual souvenir khas Amsterdam. Di pinggir jalan ada juga yang menjual pizza dan kopi, langsung mengundang aku untuk mampir. Kopi Segafredo yang harum serta pizza yang lezat fresh from oven, gue beli untuk take away, dimakan sambil jalan, harga 5 Euro. Ada juga yang menjual jajanan khas di sini, ikan herring, ada yang berbentuk sosis, ada juga yang belum matang (seperti sashimi). Rasanya agak amis…
Kami berkeliling terus, ngubek-ngubek daerah itu, tapi tidak kunjung menemukan yang namanya Red Light District. Dengan mengikuti peta, kami ketemu gang kecil dimana terdapat banyak toko yang menjual peralatan sex. Tapi… masa gini doang? Atau jangan-jangan belum mulai kali… Waktu itu sekitar pukul 7 atau 8 malam. Hari masih terang.
Yah, bulan Mei di Eropa, malam akan datang terlambat. Kami menunggu-nunggu, ini gelapnya kapan ya?
Di tengah kami mengobrol, tiba-tiba saja seorang bapak-bapak mendekati kami. “Dari Indonesia ya?”
Ya iyalah. Udah jelas pake bahasa Indonesia gitu… Akhirnya, kami pun berkenalan dengan bapak-bapak itu. Namanya Om Bram, pria berusia sekitar 60-70 tahun yang sudah 20 tahunan tinggal di Belanda. Dari sikapnya terkesan dia cukup kangen bertemu dengan teman-teman dari tanah air. Nah, kesempatan nih. Kami sedang mencari-cari yang namanya Red Light District.
Akhirnya, om Bram dan istrinya mengantar kami menjelajah gang-gang kecil pusat prostitusi yang terkenal di seluruh dunia ini. Kalau bukan karena om Bram, entah bagaimana kami bisa masuk/benar-benar masuk dan melihat dengan mata kepala sendiri fenomena ini. Soalnya kami bersepuluh kebetulan cewek semua, jadi tidak akan ada “pertunjukan” kalau hanya kami yang lewat.
Tidak peduli siapa Anda, umur berapa atau apapun latar belakang agama Anda, sepertinya kalau sudah sampai Amsterdam, sangat sulit menolak rasa penasaran untuk melihat fenomena ini. Gadis-gadis yang dijejer dalam kotak-kotak bergorden merah. Bila gorden terbuka, berarti si gadis sedang available. Bila tertutup, berarti sedang transaksi. Di kotak itu berdiri gadis-gadis yang berpakaian minim menjajakan tubuhnya, mereka akan melakukan sedikit “pertunjukan” bila yang lewat adalah pria. Mereka yang lewat sana tentu saja mencari sesuatu, kecuali turis-turis iseng seperti kami.
Kami melewati juga banyak sex shop… wah lengkap sekali deh. Segala yang bisa Anda bayangkan… Sepertinya tidak perlu diceritakan. Fotonya pun tidak perlu di-share ya… hahahaha.
Akhirnya, sekitar pukul 21.30 malam pun datang. Hari pun menjadi gelap. Teman-teman yang Muslim langsung teringat “Gila di sini magrib-nya jam berapa? Kasian ya yang puasa, panjang banget waktunya.”
Kami pun merasa lelah. Perjalanan kami dengan pesawat cukup panjang. Dari Jakarta berangkat tanggal 12 May, baru tiba di Amsterdam 13 May, dengan transit beberapa jam di Dubai. Kami pun pulang ke hotel untuk beristirahat.
Comments (0)
Posting Komentar